BERSAHABAT DALAM PERBEDAAN MEMBANGUN KULTUR AKADEMIK

Lainnya

IMG_20150228_135136

Ahmad, S.Ag., M.Pd

Rektor

LAGI-lagi ini adalah tulisan lepas yang juga mengutip dari berbagai sumber, kendati fenomena yang berkembang kini para Dosen yang ber imbas kepada mahasiswa sudah jauh dari kebiasaan membaca buku sebagai jendela dunia justeru yang berkembang cenderung suka membuka informasi atau referensi melalui android yang setiap hari ada ditangan mereka. Oleh karena itu Adalah Plato dan Aristotle siempunya nama besar. Keduanya adalah pemuka pemikir dalam sejarah akademik dan kemudian menjadi inspirasi dalam bangunan peradaban dan keadaban universitas-universitas di dunia.

Keduanya adalah perintis kultur pemelajaran yang dikenang hingga kini. Plato dikenang dengan padepokan Ecademos Plato (biasa juga ditulis Academos Plato) yang menandai kultur berdiskusi dan kultur berdialog pada awalnya dan Aristotle diingat melalui perguruan Lyceum Aristotle yang memulai kultur kuliah dan kultur meneliti pada mulanya. Kultur berdiskusi, berdialog, menyajikan kuliah, dan menyelenggarakan penelitian dengan demikian menjadi kultur awal dan dasar lalu menjadi utama bagi kekuatan penggerak (driving force) perjalanan universitas hingga ke masa kini.

Karakteristik tempat dan makna simbolik dari dua perguruan inipun berbeda. Ecademos adalah taman dalam pengertian sebenarnya dan Lyceum adalah bangunan yang berwujud gymnasium dalam pengertian sesungguhnya. Kalau mau berpikir simbolik, taman adalah tempat yang “menyenangkan” dan gymnasium adalah bangunan yang “berstruktur”. Ilmu pengetahuan memang menyenangkan sekaligus berstruktur, bukan sebaliknya. Plato diperkirakan lahir sekitar 21 Mei 428 atau 427 BC. Nama sebenarnya adalah Aristocles. Plato adalah nama pemberian dari salah satu gurunya, karena ia mempunyai ciri bernafas ketika sedang berbicara. Keluarga Plato terhubung dengan Codrus, raja Atena terakhir yang legendaris. Plato kemudian dikenang sebagai bapak filsafat idealisme. Ia meninggal pada tahun 347 BC. Aritotle sendiri lahir di Stagiros, Macedonia, pada tahun 384 BC. Ayahnya seorang dokter kerajaan Amyntas Macedonia, tetapi meninggal ketika Aristotle masih berusia belia. Pada saat itu, ilmu kedokteran diturunkan dari ayah ke anak. Kematian sang ayah membuat arah kehidupan Aristotle berubah secara drastis. Aristotle tumbuh dan dididik melalui perwalian dan pada saat berusia 17 tahun ia dikirim ke pusat kehidupan artistik dan kehidupan intelektual, yaitu di Atena. Di sana, Aristotle berguru di Ecademos Plato selama 20 tahun, sebagai murid sekaligus sebagai guru. Ia diperkirakan meninggal di sekitar July-Oktober 322 BC. Hingga kini ia dikenang sebagai pemikir utama empirisme, yang menghubungkan filsafat dan sains.

DSC_1140

Plato dan Aristotle adalah dua sosok pemikir yang bersahabat dalam perbedaan yang mendasar. Keduanya terhubung sebagai guru-murid, sebagai pendahulu-pengikut, sebagai senior-yunior yang kemudian menciptakan ketenaran bagi keduanya dan menyimpan pengaruh di berbagai ranah dan dimensi ilmu pengetahuan; filsafat, matematika, logika, bahasa, fisika, etika, kedokteran, biologi, politik, psikologi dan lain-lain. Kualitas keduanya tidak terletak pada keragaan tetapi malah pada kedalaman dan keterampilan berpikir serta penguasaan dan wawasan. Satu lagi, hubungan keduanya sering ditandai oleh kultur saling-mengeritik secara santun dan bersahabat. “Berhentilah berfilsafat tentang gigi kuda. Tangkap saja seekor kuda. Buka mulutnya. Lihat dan hitunglah berapa gigi kuda”, begitu sindiran sang murid kepada sang mahaguru yang idealis.

Sedemikian dalam perbedaan dan persahabatan mereka, seorang perupa bernama Raphael, mengabadikannya ke dalam lukisan berjudul Sekolah Atena (The Schools of Athens). Di lukisan ini, Plato dan Aristotle berjalan beriring, akrab tak terpisah meski dengan kepercayaan yang berbeda secara mendasar. Plato menunjuk langit untuk mempertegas keyakinannya pada kebenaran tertinggi (ultimate truth) sementara Aristotle menunjuk bumi, menandai kepercayaannya pada pengalaman empirik. Keduanya adalah manusia multi dimensional. Tidak jauh dari tradisi Sekolah Atena, kultur akademik dewasa ini mengalami pengembangan dan kontekstualisasi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan universitas, diletakkan pada kebutuhan lokal, regional, dan internasional, dikembangkan berdasarkan misi dan tujuan disiplin ilmu yang telah didefinisikan oleh para scholar, mencakup metodologi dan kerangka teoretik yang dipercayainya, dan menyangkut batasan-batasan eksplisit dan implisit di dalam memilih ranah penelitian dan di dalam pertukaran akademik dengan kelompok-kelompok lain.

DSCN0182

Dengan kata lain, kultur akademik perguruan tinggi dapat juga dipahami dalam hubungannya dengan faktor-faktor sosial, politik, dan ideologi yang membentuk prestasi akademik di dalam satu disiplin ilmu. Kultur akademik dengan demikian mencakup kultur disiplin ilmu di dalam satu komunitas atau masyarakat tertentu yang membangun dan mengembangkan hidupnya di dalam satu sistem. Kultur akademik juga ditandai oleh pengembangan pemelajaran fleksibel yang berpusat pada mahasiswa. Fleksibilitas dalam pemelajaran memungkinkan mahasiswa belajar apa saja, kapan saja, dan di mana saja, mencakup kemampuan mengakses informasi, mengkomunikasikannya dengan yang lain, merumuskan tujuan dengan cara mempersonalisasi dan mengejar minat pengetahuan, serta mengembangkan kemampuan mengekspresikan dirinya dan tidak lagi menggantungkan diri pada pemelajaran sebelumnya. Meskipun dosen bukan lagi figur sentral dalam memandu “peta jalan” (pave the ways) bagi mahasiswa, ujung dari peta itu adalah suatu tempat yang layak disadari dan dihormati. Kultur akademik menyadari tujuan itu dan menghormatinya melalui pengukuhan gelar dan pemberian ijazah.

Dalam konteks perguruan tinggi seperti Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan maka menjadi inspirasi tersendiri dengan banyaknya program studi yang bervarian baik berbasis sosial dan sains tentu berimplikasi terhadap Sumber Daya Manusia (Dosen dan Karyawan) di dalamnya yang juga memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda pula, sehingga saling menghargai, saling mempromosikan satu sama lain adalah kunci membangun kultur akademik yang dinamis menuju unggul dan berprestasi secara akademik dan non akademik.